Peria
Peria atau pare adalah tumbuhan merambat yang berasal dari wilayah Asia Tropis, terutama
daerah India bagian barat, yaitu Assam dan Burma. Aanggota suku labu-labuan atau Cucurbitaceae ini biasa dibudidayakan untuk dimanfaatkan
sebagai sayuran maupun bahan pengobatan. Nama Momordica yang melekat pada nama binomialnya berarti "gigitan" yang menunjukkan
pemerian tepi daunnya yang bergerigi menyerupai bekas gigitan.
Pemerian dan ekologi
Peria
adalah sejenis tumbuhan merambat dengan buah yang
panjang dan runcing pada ujungnya serta permukaan bergerigi. Peria tumbuh baik
di dataran
rendah dan dapat ditemukan
tumbuh liar di tanah terlantar, tegalan, dibudidayakan, atau ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar. Tanaman
ini tumbuh merambat atau memanjat dengan sulur berbentuk spiral, banyak
bercabang, berbau tidak enak serta batangnya berusuk isma. Daun
tunggal, bertangkai dan letaknya berseling, berbentuk bulat panjang, dengan
panjang 3,5 - 8,5 cm, lebar 4 cm, berbagi menjari 5-7, pangkalnya berbentuk jantung, serta warnanya hijau tua. Bunga
merupakan bunga tunggal, berkelamin dua dalam satu pohon, bertangkai panjang,
mahkotanya berwarna kuning. Buahnya bulat memanjang, dengan 8-10 rusuk memanjang,
berbintil-bintil tidak beraturan, panjangnya 8-30 cm, rasanya pahit, warna buah
hijau, bila masak menjadi oranye yang pecah dengan tiga daun buah.
Persebaran, habitat, & perawatan
Pare banyak
di daerah tropis. Tumbuh baik di dataran rendah dan dapat ditemui di tanah terlantar,
tegalan, atau dibudidayakan dan ditanam di pekarangan dengan dirambatkan di pagar untuk
diambil buahnya. Tanaman ini tidak perlu cahaya matahari yang terlalu banyak sehingga dapat tumbuh subur di
tempat-tempat yang agak terlindung. Benih peria diambil dari buah yang sudah
cukup matang. Sesudahnya, semai dalam polypot dengan ukuran 8-12 cm, isi dengan
tanah yang baik. Sesudahnya, semai sebanyak 2-3 biji. Tanah harus selalu
lembab, hingga tumbuh tunas. Jika daun sudah muncul sebanyak 2-4 lembar,
sisakan satu dan cabut yang lainnya. Pidahkan ke tanah, dan siram dengan air
yang cukup, dan tutup dengan sekam. Akan tetapi, peria yang berjenis peria
gajih lebih baik ditanam di dataran rendah dengan tanah yang
gembur. Biasanya ditanam di pekarangan, dan harus ada sedikit naungan agar buahnya dapat
berwarna putih.
Peria gajih
ditanam lewat bijinya. Saat menugal biji, sebaiknya diberi abu dapur dahulu.
Sebab, menanam peria gajih tidak boleh sembarangan. Sulurnya harus dibantu
merambat ke tiang rambatan. Adapun, jika sulur induk sudah berdaun lebih dari
10 lembar, gunting ujungnya agar bunga betina tidak muncul dari sulur induk.
Setelah sulur dipotong, kelak akan ada muncul sulur yang baru. Jika hujan tidak
juga turun, siram peria dengan teratur. Setelah bunga betina muncul, baru
dilakukan pemupukan. Jangan berlebihan, sebab akan mengakibatkan sementara daun menjadi
lebab, akan tetapi buahnya tetap kecil saja. Pemupukan dilakukan dua minggu
sekali, dengan pupuk kimia atau organik. Kalau buahnya sudah terbentuk, harus
dilapis kertas 2 rangkap untuk menghindarkan dari serangan lalat buah. Setelah 3 bulan, sudah bisa dipanen. Buah barulah bisa
dipane apanila permukaan buah sudah menggembung dan berair. Tekan bagian tengah
buah, apabila masih keras, tunggu hingga sudah agak kenyal. Segerakanlah
memetik buah sebelum menjadi kuning, karena itu pertanda buah sudah menua. Buah
yang menguning, sudah boleh diambil bijinya sebagai bibit. Apabila daun sudah
menguning, cabutlah pohon peria tersebut, karena pertanda sudah tak produktif.
Kegunaan
Di
negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Cina, peria
dimanfaatkan untuk pengobatan, antara lain sebagai obat gangguan pencernaan,
minuman penambah semangat, obat pencahar dan perangsang muntah, bahkan telah
diekstrak dan dikemas dalam kapsul sebagai obat herbal/jamu. Buahnya mengandung
albuminoid, karbohidrat, dan pigmen. Daunnya mengandung
momordisina, momordina, carantina, resin, dan minyak. Sementara
itu, akarnya mengandung asam
momordial dan asam
oleanolat, sedangkan bijinya mengandung saponin, alkaloid, triterprenoid, dan asam momordial. Peria juga dapat
merangsang nafsu makan,menyembuhkan penyakit kuning,memperlancar pencernaan, dan sebagai obat malaria. Selain itu, peria juga mengandung beta-karotena dua kali lebih besar
daripada brokoli sehingga berpotensi mampu mencegah timbulnya penyakit kanker dan
mengurangi risiko terkena serangan jantung ataupun infeksi virus. Daun peria
juga bermanfaat untuk menyembuhkan mencret pada bayi, membersihkan darah bagi wanita yang baru melahirkan, menurunkan demam,
mengeluarkan cacing kremi, serta dapat menyembuhkan batuk.
Buahnya yang
berasa pahit biasa diolah sebagai sayur, misalnya pada gado-gado, pecel, rendang, atau gulai. Di Cina peria diolah dengan tausi, tauco, daging sapi, dan cabai sehingga
rasanya makin enak atau diisi dengan adonan daging dan tofu, sedangkan
di Jepang peria jadi primadona makanan sehat karena diolah menjadi sup, tempura, atau asinan sayuran.
Ekstrak biji
peria selain digunakan sebagai bahan obat, ternyata juga dapat digunakan
sebagai pembasmi larva alami yang merugikan seperti larva Aedes aegypti yang menyebarkan penyakit demam
berdarah dengue atau DBD.
Peria dan diabetes
Sejak zaman purba peria
digunakan untuk merawat penderita kencing manis karena terbukti berkhasiat hipoglikemik melalui insulin nabati yang mengurangi kandungan gula dalam darah dan air kencing. Penelitian
mengenai khasiat hipoglikemik ini dilakukan oleh William D.Torres pada tahun
2004 baik secara in vitro maupun in vivo. Efek peria dalam menurunkan gula
darah pada hewan percobaan bekerja dengan mencegah usus menyerap gula yang
dimakan Selain itu diduga peria memiliki komponen yang menyerupai sulfonylurea, yakni obat antidiabetes paling tua. Obat
jenis ini menstimulasi sel beta kelenjar pankreas tubuh memproduksi insulin lebih banyak, selain meningkatkan deposit cadangan gula glikogen di hati. Momordisin, sejenis glukosida yang terkandung dalam peria juga mampu
menurunkan kadar gula dalam darah dan membantu pankreas menghasilkan insulin.
Efek peria dalam menurunkan gula darah pada kelinci diperkirakan juga serupa dengan mekanisme insulin.
Penemuan
peria sebagai antidiabetes ini diperkuat oleh hasil penelitian ahli obat
berkebangsaan Inggris, A.Raman dan C.lau pada tahun 1996 yang menyatakan bahwa
sari dan serbuk kering buah peria menyebabkan pengurangan kadar glukosa dalam
darahdan meningkatkan toleransi glukosa. Dalam ramuan tradisional, buah peria
ditumbuk hingga menghasilkan cairan pahit atau merebus daun serta buahnya
sehingga menghasilkan air yang dapat diminum secara langsung. Sebagai obat
diabetes, buah peria dapat disajikan sebagai teh karena terbukti tidak memiliki
efek samping terhadap sistem pencernaan sehingga tepat dikonsumsi oleh penderita
yang mengalami konstipasi.
Atlas Tumbuhan
Obat Indonesia. 5.
hal.121 & 131-136. Jakarta: Puspa Swara. ISBN 978-979-1480-18-5.
No comments:
Post a Comment